Pages

Rabu, 08 Februari 2012

ARIFIN PANIGORO


RAJA    MINYAK    YANG    AKTIF    DI POLITIK


Sebelum Orde Baru tumbang tahun 1998, nama    Arifin    Panigoro    hanya        dikenal kalangan terbatas sebagai pengusaha di bidang        perminyakan.        Lingkaran pergaulannya      lebih    banyak        dengan
Pertamina   dan   pengusaha   perminyakan   internasional.   Namun, ketika reformasi tengah “hamil tua” yang ditandai dengan maraknya aksi  demonstrasi  mahasiswa,  kesadaran  politik  Arifin  bangkit.  Ia telah menjadi simbol kebangkitan politik pengusaha. Tidak hanya itu, ia turut serta secara aktif membantu pergerakan mahasiswa, termasuk    menyiapkan    nasi    bungkus    untuk    dikirim    kepada mahasiswa yang tengah menggelar aksi di Gedung DPR Senayan, Jakarta.
Alumni Elektro Institut Teknologi Bandung (ITB) tahun 1973 ini memulai usahanya tidak langsung menjadi bos di Meta Epsi Drilling Company (Medco). Sebelum tahun 1980-an, awalnya ia cuma sebagai kontraktor instalasi listrik door to door. Selanjutnya memulai proyek pemasangan pipa secara kecil-kecilan. Begitu ada proyek yang berdiameter besar, hal itu bukan porsi pengusaha lokal, melainkan  pengusaha  asing.  Jadi,  setiap  Pertamina  melakukan tender untuk pemasangan pipa besar, maka perusahaan asing yang

menang karena untuk pipaline butuh peralatan berat. Peralatan itu umumnya hanya dimiliki oleh perusahaan asing.
Kondisi itu membuatnya berpikir, sebaiknya pengusaha lokal pun diberi kesempatan atau dibantu untuk bisa menangani pemasangan pipa besar dan tidak hanya diberi pekerjaan yang kecil-kecil. Tahun
1981 ia  memberanikan diri  untuk  mulai  masuk proyek pipanisasi yang  berdiameter  besar.  Untuk  pekerjaan  itu,  ia  bekerja  sama dengan perusahaan asing. Deal-nya, bila satu proyek selesai, bagi hasilnya adalah peralatan itu. Mitra setuju, proyek pun selesai. Sejak itu dengan alat tersebut ia mencari proyek ke mana-mana.
Selain menggandeng mitra asing, dukungan dan proteksi dari pemerintah amat diperlukan. Tidak mungkin pengusaha lokal yang baru berdiri dan tidak memiliki pengalaman dapat tiba-tiba bersaing dengan    perusahaan    asing    yang    berpengalaman    di    bidang perminyakan selama puluhan tahun. Menggandeng mitra luar dan dukungan pemerintah itu merupakan cara pengusaha lokal bisa membuka pintu ke bidang bisnis yang lebih luas. Dengan begitu, persaingan dengan perusahaan asing bisa dilakukan.
Semuanya dimulai dari tahapan membiasakan pengusaha lokal mengerjakan   proyek   besar.   Contoh   yang   dialaminya   dengan bendera usaha Medco tejadi pada tahun 1979-1980 ketika terjadi oil boom, Sekretariat Negara mengambil inisiatif untuk membangun kilang minyak karena ada tambahan anggaran. Pada saat itu, pemerintah berkeinginan untuk menyelipkan unsur pembinaan bagi pengusaha lokal, termasuk Medco. Saat itu, dalam pembangunan Kilang  Cilacap,  Medco  dikawinkan  dengan  satu  perusahaan  asal

Amerika Serikat. Akhirnya, Medco yang tidak tahu apa-apa tentang pemasangan pipa, menjadi mengerti.
Demikian juga saat memulai usaha pengeboran minyak tahun 1981, juga tak lepas dari bantuan pemerintah. Menurut Arifin, tahun itulah titik  awal  Medco  menjadi  besar.  Pada  waktu  itu,  ia  memiliki kedekatan dengan Dirjen Migas Wiharso yang menginginkan ada pengusaha lokal dalam proyek jasa pengeboran. Kebetulan ada penyertaan modal pemerintah ke Pertamina, yang mau melakukan pengeboran gas di Sumatera Selatan.
Pemerintah mendorongnya untuk ikut tender, meskipun tidak punya peralatan ngebor. Pemerintah memanggil perusahaan asing yang berpeluang menang diminta untuk menyewakan alat, atau memakai orang-orang  Medco  sebagai  mitra.  Tujuan  pemerintah  waktu  itu adalah  untuk membesarkan  pengusaha  lokal.  Namun, tanggapan dari perusahaan asing itu membuat Pak Wiharso tersingung dan batal.   Lalu   Pak   Wiharso   memintanya   menggarap   proyek   itu sendirian. Arifin sama sekali tidak percaya dengan keputusan itu karena ia tidak memiliki pengalaman melakukan pengeboran. Hasilnya, ia kelabakan karena proyek yang ditenderkan tahun 1979 sudah harus mulai dikerjakan pada tahun 1980. Dengan perasaan yakin, ia pun terima tantangan itu. Tahap awal ia instruksikan staf yang  memiliki  kemampuan  bahasa  Inggris  untuk  menjajaki  pusat penjualan peralatan pengeboran di AS. Baru setelah ada kepastian dan diketahui harganya, ia terbang dari Jakarta ke Houston, AS. Perjalanan itu merupakan pengalaman pertamanya ke AS. Bermodal

"bahasa Inggris Tarzan" dan uang 300.000 dollar AS, ia melakukan deal dengan pemilik barang. Hasilnya, deal berlangsung buruk. Penjual barang meminta dalam waktu dua minggu barang seharga 4 juta dollar AS sudah dibayar, kalau tidak maka uang muka 300.000 dollar AS hangus. Ia terpaksa menerima syarat itu karena posisi tawarannya yang jelek. Setelah itu ia langsung terbang ke Indonesia. Saking   panjangnya   perjalanan   dengan   tiket   ekonomi,   tiba   di Indonesia  langsung  sakit.  Namun,  dengan  kondisi  yang  berat  ia berusaha menemui Gubernur Bank Indonesia Rachmat Saleh, lalu ke Pertamina.
Cara itu merupakan langkah terakhir yang harus dilakukan karena ia masih merupakan pengusaha "bayi". Beruntung, Pak Piet Haryono dan Pak Wiharso memberikan rekomendasi, Medco patut dibantu. Dana pun cair di ambang batas perjanjian. Proyek pun bisa berjalan sesuai waktu yang ditentukan pemerintah.
Terhadap  bantuan  yang  diberikan  pemerintah  itu,  Arifin  menilai sangat positif agar pengusaha lokal mampu bersaing. Namun, tetap harus dilakukan secara betul karena kalau tidak bisa, jadi salah arah. Di sinilah sulitnya, kadang proteksi itu memberikan hasil yang sebaliknya. Mumpung dikasih proteksi, pengusaha malah menjadi manja.
Setelah merintis usaha tahun 80-an, Medco memulai kejayaannya pada tahun 1990. Sebelum tahun 1990 Medco selalu bekerja sama dengan  pihak  ketiga  dan  untuk  masuk  ke  sana  bukan  hanya masalah  konsistensi  ketekunan  dan  normatif,  tetapi  juga  urusan garis tangan sebagai penentu. Sebab, untuk memburu satu sumur

minyak bukan urusan ribuan dollar AS, tetapi jutaan dollar AS dan itu pun belum tentu ketemu minyaknya.
Namun, keinginan untuk bisa mandiri tetap ada, maka tahun 1990 untuk  pertama  kali  Arifin  membeli  sumur  minyak  di  Tarakan, Kalimantan Timur, seharga 13 juta dollar AS. Ladang itu mampu berproduksi 4.000 barrel per hari (bph). Tahun 1995, beli lagi sumur minyak tertua PT Stanvac Indonesia milik ExxonMobil, yang sampai saat ini total produksi yang dimiliki Medco mencapai 80.000 bph. Barangkali    inilah    prestasi    paling    gemilang    dari    Arifin    dan perusahaannya, Meta Epsi Drilling Company (Medco). Pembelian Stanvac  dimenangkan  melalui  tender  yang  kemudian  namanya diubah menjadi Expan. Dengan pembelian itu, PT Stanvac tidak lagi dikuasai orang asing sebab perusahaan minyak tertua di Indonesia itu sudah dimiliki sepenuhnya oleh Medco.
Keberhasilan itu konon karena ada unsur tekanan dari pemerintah. Atas    isu    tersebut,    Arifin    membeberkan    bahwa    ia    membeli perusahaan minyak itu melalui tender intemasional. Untuk bertemu langsung dengan orangnya saja tidak bisa. Baru setelah selesai pembelian,  mereka  bisa  benar-benar  bertemu.  Ia  membelinya secara langsung. Waktu itu cadangannya cuma 20 juta. Kemudian tahun 1996 produksi digenjot. Hasilnya, satu lapangan saja bisa mendapatkan 320 juta barel minyak.
Sukses di bidang perminyakan ternyata membuat Arifin berpikir lain masih dalam sektor tambang. Kenapa orang lokal tidak bisa berjaya di gas, seperti halnya di minyak. Padahal Indonesia kan salah satu produsen gas terbesar di dunia dan banyak industri yang berteriak

kekurangan   gas?   Pernyataan   inilah   yang   kerap   membuatnya gundah. Jika kita lihat pada satu sisi, Indonesia menempati posisi nomor satu di dunia dalam ekspor LNG karena cadangan gas jauh lebih banyak dari minyak. Kini, cadangan sudah mencapai 170 triliun kaki kubik (TCF). Jika cadangan itu diproduksi, sampai 50 tahun pun tidak akan habis.
Gas itu ada di luar Pulau Jawa, tetapi tetap harus harus dibawa ke Pulau Jawa karena berapa pun harganya tetap menarik. Misalnya PLN, jika membeli gas harganya hanya 3 dollar per million metric british thermal unit (MMBTU) sudah sangat mewah. Namun, kalau disetarakan dengan BBM sama  dengan  18  dollar  AS  per barrel. Harga  itu  sangat  murah  dibandingkan  harga  BBM  yang  harus dibayar PLN sebesar 30 dollar AS per barrel.
Namun, kembali lagi, kenapa gas tidak ada di Pulau Jawa, ini masalah kebijakan pemerintah. Jadi, mestinya Bappenas atau Menteri bidang Ekuin sama memikirkan, apakah terus bergantung minyak yang harganya 30 dollar AS per barrel. Medco menjual ke Pusri 1,8 dollar AS ditambah ongkos pipa 0,5 sen dollar, sudah bisa untung.
Inilah yang ia anggap kebijakan itu keliru. Demikian juga proyek yang dibangun oleh PT Perusahaan Gas Negara, yang berhasil menyambung pipa gas ke Singapura, setelah itu membangun pipa ke Pulau Jawa adalah kebijakan yang salah. Gas di Sumsel sebenarnya tak banyak lagi, jadi seharusnya dibawa ke Jawa saja. Tetapi, barangkali pemerintah memiliki pertimbangan harga di Singapura yang barangkali lebih baik.

Sukses  di  dunia  bisnis  membuatnya  ikut  berpetualang  ke  dunia politik. Awalnya ia melakukan pertemuan di Hotel Radisson Yogyakarta tahun 1997. Sebenarnya itu adalah pertemuan atau diskusi biasa. Namun, efeknya luar biasa, khususnya buat Arifin. Ia dituduh berupaya menggagalkan Sidang Umum MPR yang akan mengesahkan Soeharto menjadi Presiden ketujuh kalinya.
Ketika aksi mahasiswa semakin memanas, Arifin memberi bantuan konsumsi kepada para demonstran yang melakukan aksi di Gedung DPR.  Ribuan  kotak  makanan  dikirim.  Tak  heran  jika  kemudian muncul opini bahwa Arifin adalah tokoh di belakang aksi atau cukong para mahasiswa. Namun, Arifin tahu bahwa ia tidak sendiri. Gerakan reformasi merupakan suratan untuk memperbaiki keadaan.
Cobaan terhadap langkahnya di dunia politik masih berlanjut. Di era Presiden BJ Habibie, Arifin Panigoro kembali dijerat dengan tuduhan pidana korupsi penyalahgunaan commercial paper senilai lebih dari Rp 1,8 triliun. Pada waktu itu, sejumlah kalangan percaya dijeratnya Arifin karena kedekatannya dengan gerakan mahasiswa. Bahkan pada masa pemerintahan Megawati, Arifin kembali dicoba untuk dijerat lewat perkara di kejaksaan. Sejak awal, dirinya yakin hanya dikerjain karena masih banyak pihak yang tidak senang dengan aktivitas politik yang digeluti.
Pengalamannya  sebagai  pengusaha  membuat  dia  tidak  kaget dengan praktik politik karena di dalamnya ada aktivitas melobi atau menggarap, juga money politics. Baginya, hari-hari uang adalah urusannya. Dari permulaan bekerja sebagai pengusaha, ia tidak pernah buat kesepakatan dengan fasilitas yang diperolehnya.

Demikian   juga   dengan   urusan   politik   yang   juga   bagian   dari kompromi lintas fraksi, kesepakatan semua kekuatan. Hal-hal begitu tidak selalu pakai uang, cukup pengertian bahwa kita punya sesuatu yang lebih besar, mari kita jalani sama-sama. Namun, perjalanan tidak   selalu   mulus,   godaan   banyak.   Apalagi   kekuatan   politik sekarang sesudah zaman Soeharto, relatif pemainnya baru semua. Meskipun  terbiasa bermain  dengan  uang,  namun Arifin mengaku memiliki batasan dalam memainkan uangnya. Sayangnya, proses politik  atau  proses  pengambilan  keputusan  politik,  ternyata  uang yang berbicara. Padahal, meskipun ia seorang pebisnis, tetapi ia mau  bisnis  tanpa  uang.  Meskipun  ia  mengaku,  cara  bisnisnya memang tidak sebersih di AS. Di negara itu, mentraktir makan di atas 100 dollar AS sudah termasuk kategori sogokan. Ia tidak begitu amat,   tetapi   mendambakan   good   government   and   corporate governance, supaya bisa membuat bangsa ini ke depan lebih baik.
Ia berhitung, hari ini, uang dihabiskan untuk apa saja. Ia mau menghitung berapa total uang  yang  dikeluarkan  dalam pemilihan kepala daerah di Indonesia, yang akan membebani APBD setiap daerah. Jangan lupa, itu uang rakyat dari pajak. Kalau pemimpinnya main, tentu menggelembungkan dana proyek, tentu bawahan juga ikut ambil bagian. Dengan demikian korupsi akibat kedudukan bisa menimbulkan efek berantai, jika dana diselewengkan Rp 1 triliun, uang rakyat yang bakal hilang sekitar Rp 10 triliun untuk pemilihan kepala daerah.
Perkenalannya lebih mendalam dengan dunia politik adalah ketika partai-partai baru bermunculan tahun 1998-1999 setelah lengsernya

Soeharto   dari   kursi   presiden.   Pada   awalnya,   Arifin   menjalin hubungan  dengan  berbagai  tokoh  politik,  baik  tokoh  masyarakat yang sudah lama dikenal maupun tokoh yang baru muncul. Saat deklarasi partai baru dilangsungkan, Arifin kerap menghadirinya. Namun, akhirnya pilihannya jatuh ke PDI Perjuangan yang dipimpin Megawati Soekarnoputri. Bersama PDIP, Arifin pun melenggang menuju Senayan sebagai anggota DPR/MPR.
Untuk kategori pemain baru di dunia politik, sebenarnya karir politik Arifin terbilang bagus. Ia bisa duduk di jajaran DPP partai peraih suara terbanyak dalam pemilu. Ia pernah memimpin lintas fraksi, juga menjadi Ketua Fraksi PDIP MPR. Namun, dunia politik memang seperti cuaca yang cepat berubah. Arifin yang kerap dikenal sebagai anak “indekos” di partai berlambang banteng merah gemuk itu dianggap sudah kurang loyal kepada partainya dan mulai memihak lawan partai politiknya bernaung.
Arifin Panigoro yang dulu dianggap sebagai inspirator pembangunan jalan mulus Presiden Megawati menuju kursi kepresidenan, kini dianggap sebagai anak yang nakal. Isu pun merebak bahwa Arifin bakal dipecat. Namun, hingga saat ini, isu tersebut tidak berbuah menjadi kenyataan.
Terhadap isu tersebut, ia berpendapat kalau dirinya dikeluarkan, sepertinya ia harus membuat acara perpisahan dengan teman- teman. Tetapi, sebetulnya ia sudah memikirkan untuk keluar. Menurutnya, kalau dikeluarkan dirinya akan lebih senang. Seperti orang    kerja,    kalau    berhenti    tidak    dapat    pesangon,    kalau diberhentikan malah dapat pesangon.

Meskipun   siap   untuk   keluar,   namun   mengenai   masa   depan politiknya  masih  belum  jelas,  dan  ia  sendiri  masih  belum  bisa mengira-ngira ke mana akan berlabuh. Hal itu terjadi karena dari tahun   1998   ia   termasuk   non-partisan,   meskipun   belakangan bergabung   ke   partai.   Awalnya,   ia   datang   pada   setiap   acara peresmian partai baru, sampai akhirnya bergabung dengan PDIP. Arifin menganggap dirinya sebagai seorang oportunis yang iseng- iseng. Atau ia hanya ingin ada lima tahun periode yang lain, tidak hanya  menjadi  seorang  pengusaha.Tetapi  yang  pasti,  hematnya, konyol jika berhenti lalu serta-merta melawan PDIP, apalagi mau menggulingkan Megawati.
Jika benar-benar mundur dari dunia politik, kemungkinan ia akan relaksasi dan bermain golf di Paris atau mencari sekolah khusus untuk  mereka  yang  sudah  berumur  di  kota  yang  mempunyai makanan yang enak-enak. Mungkin enam bulan istirahat dulu.
Ia juga termasuk orang yang respek terhadap cendekiawan muslim Noercholish Madjid (Cak Nur). Menurutnya, Cak Nur itu bukan politikus, tetapi berminat jadi presiden. Ketika pertama kali mengemukakan minatnya jadi presiden Arifin termasuk orang yang awal-awal mendatangi dan bertanya, ternyata jawabannya memang mau. Pikirnya, siapa pun ini, dia dari unsur yang berbeda dibandingkan politikus yang lain. Dengan demikian bisa menjadi ukuran moral, sebab moral juga harus terukur. Paling tidak, politikus ada malu-malu sedikit. Jadi, pencalonan Cak Nur, sebenarnya dapat meningkatkan kualitas pertandingan.

Mengenai  kehidupan  keluarganya,  suami  dari  Raisis  A  Panigoro cukup  bahagia.  Anak-anaknya  sudah  besar,  bahkan  yang  tertua Maera Hanafiah sudah menikah dan sebentar lagi dikarunia anak kedua.  Adapun  yang  bungsu  Yaser  Mairi  sedang  menambah pendidikan di Singapura pada bidang IT. Sekarang, meskipun agak telat, ia sadar, kalau dirinya kurang memberikan perhatian kepada anak-anak, karena jam kerja yang ngawur. Sekarang, sejak sekolah di luar negeri, anak-anaknya seakan-akan lupa dengan orang tua. Meskipun anak-anak itu bersekolah di luar negeri, namun tidak ada yang secara khusus disiapkan menggantikannya. Anak pertamanya seorang ibu rumah tangga, anak kedua tidak dipersiapkan untuk itu. Prinsipnya,  Medco  bukan  perusahaan  keluarga,  jadi  sebaiknya dijalankan oleh profesional. Kebetulan, adiknya orang minyak. Jadi, Hilmi Panigoro duduk Medco.
Ia juga tidak akan memaksakan anak-anak untuk meneruskan usaha orang tuanya. Jika kapasitasnya sudah dipenuhi, silakan saja kalau mau meneruskan. Ia mengaku tidak takut jika perusahaannya dipegang oleh orang lain, toh semua aset, cadangan tidak ke mana- mana.
Meskipun kini sudah menjadi "raja minyak", suami dari Raisis A Panigoro ini mengaku, kaya itu relatif. Dia mengaku tak pernah menghitung, apakah dirinya kaya atau tidak, sebab semua hidup yang dijalani terus menggelinding. Baginya, disebut kaya itu relatif, kalau di Indonesia, seperti dirinya memang sudah menonjol. Sebagai orang yang beberapa kali dicekal untuk bepergian ke luar negeri, ia pun bertanya untuk apa kekayaan itu.

Sebagai  orang  yang  romantis,  ia  mengaku  merasa  benar-benar kaya, kalau berada dalam satu konser musik yang benar-benar disukai.  Seperti saat ini, setelah  bisa  menikmati  alunan gamelan Jawa, maka setiap mendengar musik Jawa itu sebelum tidur, dia merasa  kaya.  Jadi, baginya  kaya  cukup  sederhana,  bukan  harta melimpah atau kekuasaan.
Arifin juga sadar, suatu saat akan pensiun sebagai orang perminyakan. Namun, tidak berarti ia akan berdiam diri. Ia merencanakan untuk memfokuskan ke Medco yang lain yaitu di bidang agrobisnis. Sekarang ini orang sedang banyak bicara tentang pertanian. Masalah minyak goreng yang masih kurang kelapa sawitnya. Mungkin itu adalah salah satu pelabuhan yang akan ditujunya kemudian.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Contact

Debu Jadi Intan Copyright © 2009 Community is Designed by Bie Blogger Template